“Duaar…”
Suara tembakan pistol berseliweran di kanan-kiri, memekakkan setiap pasang telinga. Menghantui setiap pasang mata. Menambah detak jantung berdebar. Memaksa setiap kaki untuk beranjak menuju tempat yang aman. Kemegahan kubah Sakhrah yang agung dan diberkahi ini kini tak berdaya menaungi jemaahnya untuk tenang beribadah.
“Umi, ke mana kita akan pergi?” tanya seorang bocah tujuh tahun yang lucu dan baru senang berbicara. Rengek bocah itu nyaring karena bersaing dengan suara tembakan pistol para penjajah.
“Entah Nak, kita cari tempat yang lebih aman saja dulu.”
Sang anak menuruti uminya. Bocah yang tadinya berjalan sendiri, kini digendong ibunya. Di tengah situasi genting ini, ia tidak ingin mengulangi cerita para tetangganya yang kehilangan anggota keluarganya sebab peristiwa mengenaskan ini.
Elyas.
Bocah itu bernama Elyas. Sikap dan cara berpikirnya kian mendewasa karena keadaan. Ia semakin mudah sedih, mudah senang, mudah putus asa, mudah semangat, dan berbagai rasa yang bercampur aduk dalam hatinya. Kondisi keamanan di negerinya memang memaksa demikian. Ia seringkali kaget mendengar dentuman bom dan tembakan pistol. Kadang juga senang dan bahagia mendapat bantuan tenaga relawan dari negeri sahabat Palestina sejak dahulu. Negeri itu adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Nama negeri ini sangat harum di Timur Tengah hingga negara pertama yang mengakui kemerdekaannya adalah negeri-negeri di Timur Tengah.
Negara ini bernama I N D O N E S I A.
Ada banyak sekali organisasi kerelawanan yang bergerak untuk masyarakat Palestina. Elyas sangat senang ketika diasuh mereka, diberi cokelat, diajari berhitung dan membaca, hingga bermain petak umpet bersama teman-teman lainnya. Elyas merasa memiliki seorang ayah yang sigap di setiap saat, meskipun kenyataannya hanya Umi satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Peristiwa Nakba yang menggusur paksa jutaan rakyat Palestina dari tanahnya sendiri tentu tidak akan hilang dari pelupuk mata Elyas. Setelah peristiwa itu, bantuan dari Indonesia semakin bertambah di setiap kamp-kamp pengungsian, bahkan mendirikan Sekolah Indonesia-Palestina yang jaraknya 700 meter dari Masjidilaqsa.
Umi Elyas terus berlari menuju tempat yang lebih aman.
“Umi, lepaskan Elyas… Biar Elyas berlari sendiri memapah Umi…”
Pinta Elyas di tengah derap pemberontak Israel. Elyas paham jika uminya kecapean dan begitu menyanyangi dirinya melebihi dirinya sendiri. Tapi Elyas sadar, bahwa di tengah huru-hara ini, semua hati dan perasaan warga asli Palestina remuk oleh penjajahan ini. Elyas yakin untuk bisa menjaga dirinya, menguatkan dirinya, tentu juga menguatkan uminya.
Dari kejauhan, seorang pemuda meneropong pemandangan bocah kecil itu bersama uminya berlari tergopoh-gopoh.
“Elyassss…” teriak pemuda itu.
“Abi Mansur, Umi ayo kita ke Abi Mansur. Dia menunggu kita di kamp.”
Mereka berdua menemukan suara gurunya Elyas itu. Abi Mansur dengan berseragam lengkap bertuliskan Relawan Indonesia selalu siap sedia pembantu rakyat Palestina.
Abi Mansur menyiapkan tempat yang cukup representatif untuk mencari keamanan dan kenyamanan. Bersama tim, Abi Mansur melengkapi kebutuhan sandang dan pangan yang baik. Tak lupa juga dorongan psikologis untuk para korban, khususnya menghibur anak-anak.
“Elyas, kamu tidak kenapa-napa kan Nak? Sini duduk istirahat minum teh dahulu…”
“Tidak Abi, Elyas hanya sedikit kelelahan saja kok Abi. Syukron ya Abi…”
Elyas tampak sudah agak fasih berbahasa Indonesia setelah belajar dari gurunya itu.
“Nak, kamu istirahat dulu sama Umi ya, Abi Mansur mau menolong tim medis.”
“Hati-hati Abi…”
Abi Mansur bergegas menuju kamp medis. Di sana cukup banyak korban yang membutuhkan bantuan.
Duaar…..
“Abi… awaaaaasss…”
Suara tembakan itu berseliweran mengudara di antara para jurnalis yang meliput berita pemberontakan di bawah megahnya kubah Sakhrah. Para jurnalis yang berseragam lengkap dan memiliki legalitas untuk bekerja di lapangan, kerap kali menjadi sasaran Israel.
Duaar…..
Suara tembakan itu tidak tunggal. Elyas khawatir terjadi apa-apa dengan gurunya itu.
“Umi, Elyas ingin menemui Abi Mansur dulu yaaa…”
Tanpa pilihan lain, uminya mengikhlaskan kepergian anaknya menjumpai gurunya. Sembari doa demi doa dipanjatkannya.
“Abi Mansur, Abi Mansur…”
Pekik anak tujuh tahun itu mencari gurunya di tengah hiruk-pikuk kebisingan. Setelah berlarian, akhirnya ia melihat orang yang dicari itu, berseragam Relawan Indonesia. Abi Mansur berada jauh di lokasi suara tembakan tadi.
“Syukurlah…” batinnya.
“Abi….” teriak bocah itu.
Abi Mansur mendengar suara itu dan hendak memeluknya.
“Elyass…”
Anak itu lebih longgar membuka tangannya untuk memeluk, bukti khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan dari gurunya.
***
“Hey, Mansur… Dari tadi ngaduk kopi hitam mulu, gak diminum-minum, ada apa sih?”
Abdel dan Badir yang sedang ngopi di warung kopi mendapati Rahmat dengan pandangan yang bolong. Bola matanya berhenti stagnan seolah yang dipandang bukan yang di hadapannya. Seketika itu pula, ceritanya menjadi relawan di tanah suci Palestina kabur dengan teguran dari kawan-kawannya. Yang harusnya memeluk Elyas, malah disenggol sama kawan ngopi-nya.
“Gimana Bro, obrolan pilpres kita sudah jauh ke mana-mana loh. Suasana ngopi kita harus lebih panas nih. Tahun politik sudah mulai. Singgasana capres sudah terdengar. Masa masih ngelamun gitu, Bro,” sahut Abdel, yang juga ketua RT. Yang disahut masih setengah sadar dari tatapan kosongnya.
“Bayangin coba, agama sudah mulai disulut dengan politik. Wacana-wacana keagamaan muncul di kubu sana sini. Seolah lumbung suara politik ada di dalam pemeluk agama. Harus waspada dan jangan asal milih nih,” sambung Badir. Yang disinggung, alias Mansur, baru menyeruput kopi pertamanya.
“Iya bener Pak RT, Pak Badir. Kalau tahun politik kita plonga-plongo, gak ngerti apa-apa, wah berabe nih kehidupan kita ke depan. Mana ada yang mau hidup dengan ketidakpastian,” lanjut Karim, si pemilik warung kopi yang tidak mau kalah ketinggalan obrolan.
Mansur baru mulai sadar dan sumringah setelah menyeruput kopinya. Setelah rehat sejenak untuk menarik napas, ia angkat bicara.
“Bagus Pak, memang soal pilpres bukan soal yang patut disepelekan. Kita harus melek politik. Tapi bagaimanapun pentingnya pilpres, jangan sampai kita lupa dengan kabar yang sangat dekat, berpengaruh, dan melekat dengan keimanan kita.”
Bapak-bapak di warung kopi itu tertarik dengan obrolan Pak Mansur yang lain dari tema obrolan sebelumnya. Seperti ngelantur setelah melamun, tapi seperti ada benarnya.
“Urusan pemilihan presiden memang penting. Ya, kita saksikan saja, kita ikuti beritanya sambil bijak memilah berita yang benar untuk kita jadikan referensi dalam memilih. Cukup di situ saja, jangan terlalu ikut heboh dengan panasnya pilpres. Mau si A, mau si B, orang kaya kita mah tetap macul di sawah kan Pak, bener gak?”
Seisi warung kopi tertawa mendengarnya.
“Pak Mansur ini, diam-diam idenya cemerlang juga ya. Dari tadi ngelamun, tau-tau obrolannya ada isinya. Apa ada titisan karomah-nya Gus Dur yang tahu isi rapat padahal ditinggal tidur?” sahut Abdel.
Penduduk warung makin renyah terbahak-bahak.
“Pak Abdel ini ada-ada saja. Nih lihat dahi saya, luas kan?”
Pak Abdel memamerkan dahinya yang lebar.
“Apa hubungannya dengan Gus Dur?” tanya Badir.
“Ya gak ada lah. Titisan juga bukan. Haha….”
“Eh, malah ngalor-ngidul obrolannya. Ayo Pak Mansur, tadi lanjutin ceritanya,” potong Karim, si pemilik warung kopi. Dia ingin meluruskan obrolan.
Setelah menyeruput kopi, Mansur angkat bicara.
“Setelah dipikir-pikir ya Pak, kita tuh zaman sekarang banjir informasi di HP kita. Berita ini, berita itu, semuanya ada. Dari selebriti, politik, sampai yang nyeleneh gak karuan juga ada. Bener kan Pak?”
Seisi warung mengiyakan dan menyimak.
“Nah, banyak orang yang salah fokus pada urusan yang tidak penting dan tidak berpengaruh pada dirinya. Justru yang penting dan mendesak, malah kita gak tahu.”
Obrolan Mansur semakin serius.
“Coba saya tanya. Di tengah keramaian tahun politik, capres-capresan, Elgibiji, sampai Asian Games, ada yang tahu gak kalau saudara-saudara kita masih terjajah di tanahnya sendiri?”
Penduduk warung saling berpandangan.
“Penjajahan? Zaman gini masih ada penjajahan seperti dulu kita dijajah oleh Belanda?” tanggap Karim, penasaran.
“Iya, penjajahan tetap ada sampai sekarang. Tapi ini lebih ruwet lagi Pak. Penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina ini merupakan isu global. Penjajahan yang dilakukannya berbalut dengan hukum internasional yang ruwet. Coba bayangkan, dunia ini kan dipegang oleh PBB. Sedangkan PBB itu bermarkas di mana coba?”
“Amerika…” jawab Badir dengan pasti.
“Nah, itu dia. Amerika itu musuhnya Israel atau kawannya?”
Semua menggeleng, tanda belum paham.
“Di sinilah letak kerumitannya. PBB dan Amerika khususnya selaku kekuatan dunia tidak bisa memandang adil isu Palestina ini. Israel menduduki tanah Palestina dengan menjatuhkan jutaan nyawa. Mereka membunuh ratusan jurnalis. Berbagai negara sudah mengecam dan mengutuknya. Tapi apa daya, Amerika tetap melindunginya dengan dalih-dalih yang tidak masuk akal. Itulah yang membuat mereka bebal atas kecaman seluruh masyarakat di dunia ini. Lantas, kalau kita ikut-ikutan acuh, mau siapa lagi yang peduli?”
Setiap pasang telinga terdengar iba dengan berita yang disampaikan Mansur.
“Terlebih saya merasakannya langsung di lapangan setelah ikut menjadi relawan, meskipun tidak lama, hanya sebulan. Saya merasakan bahwa yang mereka rasakan adalah apa yang terjadi pada bangsa kita saat dahulu dijajah oleh Belanda. Sama persis, seperti apa yang diceritakan kakek saya waktu kecil, dan mungkin leluhur kita semua juga merasakan.”
“Sebentar. Palestina pernah saya dengar dari pengajian di masjid. Kalau tidak salah, di sana ada Masjidilaqsa tempat nabi Muhammad Isra Mikraj ya?” Sahut Badir.
“Oh, yang disampaikan Kiai Arsyad itu? Yang katanya tanahnya berkah dan pernah menjadi kiblat pertama kaum muslimin?” sahut Abdel.
Mansur mengangguk.
“Sudah menjadi hal yang mutlak bahwa semua yang bapak-bapak sampaikan itu benar tanpa perlu didebat. Lantas, bagaimana kalau kita acuh? Ke mana keimanan kita untuk menjaga tanah yang dimuliakan oleh Allah itu?” pungkas Mansur dengan yakin dan mantap.
“Tapi kalau dipikir-pikir, urusan Palestina itu ya urusan kemanusiaan. Tidak perlu membawa agama pun misalnya. Ya semua orang harus peduli untuk menghapus penjajahan di atas muka bumi.”
Penjual kopi memang selalu bijak. Demikian tanggapan Karim dari diskusinya dengan Mansur. Seisi warung mengangkap jempol dan mengapresiasinya.
“Eh jangan jauh-jauh lho. Warga RT kita, yang ikut ngopi sekarang masih ada yang dijajah lho…” selonong Abdel.
“Dijajah gimana? Masa dijajah cuma sendirian?”
“Iya, dijajah oleh kesendirian, alias masih bujangan,” sindir Abdel menodong Badir. Pemuda yang sukanya ngopi, tapi belum melabuhkan hati.
Sindiran itu disambut tawa oleh bapak-bapak warung kopi.
Nyatanya obrolan tidak harus seserius di ruang rapat. Tapi yang jelas harus fokus pada masalah yang serius.
Tawa mengudara di warung kopi.
Doa dan bantuan kemanusiaan masih diharapkan mereka yang berada di bawah kubah Sakhrah.
Cerpen ini karya Fadlan S. anggota FLP Ciamis dan pernah dimuat di Republika.co.id dan diterbitkan kembali oleh FLP Ciamis dengan sedikit perubahan.
Tidak ada komentar