Malam tak pernah terpisah dari sang gelap. Hitam kelam menyelimuti bumi. Suara kodok bersahutan bagai alunan musik orkestra.
Perlahan-lahan kulangkahkan kakiku. Samar-samar kuamati pematang sawah ini, agak becek sedikit.
Ah, aku harus hati-hati.
Bisa-bisa aku terjatuh ke sawah. Padahal tanahnya kotor dan becek.
Malam ini aku harus pergi ke rumah Paman. Masih satu kampung memang, tapi jaraknya lumayan cukup jauh. Aku ingin cepat sampai. Akhirnya tadi aku putuskan untuk melewati jalan pintas. Walaupun resikonya aku harus melewati sawah becek ini.
Biasanya, dengan melewati jalan ini, aku sampai di rumah Paman hanya menghabiskan waktu lima belas menit saja. Ditambah lagi dengan keadaan yang sepi dan gelap. Tapi aku tak khawatir, karena aku membawa senter besar.
Tiba-tiba…
Blep!
Lampu senterku mendadak padam. Aku hentikan langkah. Kucoba memeriksa senterku. Tapi, sepertinya tak ada yang salah. Mungkin lampunya mati.
Sial.
Ternyata aku harus berjalan dalam gelap. Kembali lagi ke rumah tak mungkin. Malam pun semakin larut. Aku bisa telat sampai di rumah paman. Besok, ayahku akan mulai turun sawah untuk mulai mencangkul. Dan aku harus memberi tahu pamanku. Setidaknya aku harus sampai sebelum malam semakin larut.
Aku kembali melangkah melanjutkan perjalanan. Gelap sekali, aku harus ekstra hati-hati. Aku berjalan setengah menyeret kakiku. Apalagi tanah ini becek.
Langkahku terhenti kembali. Aku baru ingat, di depan sana ada pohon besar dan tua. Mungkin usianya sudah satu abad lebih. Kata orang-orang, pohon besar itu ada penunggunya. Tapi aku tak takut.
Eh, tunggu dulu, kok bulu kudukku serasa berdiri semua, aneh.
Jalan setapak ini memang jarang dilewati, apalagi di malam hari. Kalau tak terpaksa siapa sudi malam-malam begini pergi ke daerah ini.
* * *
“Zen, aku mau mengantarmu, tapi aku tak mau lewat pohon itu,” kata Endin tegas.
“Memangnya kenapa?” aku bertanya heran, ”aku takut kemalaman, sekarang sudah hampir jam sembilan.”
“Kamu masih ingat cerita Mang Tahri kan?” Endin balik bertanya.
Menurut pengakuan Mang Tahri, tetanggaku. Katanya ia pernah lewat pohon besar itu tengah malam. Menurut pengakuan dia, ia seperti melihat maung, ia pun ketakutan dan jatuh pingsan sampai pagi.
“Ah, Mang Tahri memang penakut,” kilahku.
“Ya sudah, kamu pergi sendiri saja, aku mau pulang,” kata Endin akhirnya berlalu meninggalkanku.
Siapa takut, aku kan pergi sendiri saja, apalagi aku membawa senter. Bukannya aku tak percaya sama hantu. Tapi kan, katanya setan tak akan berani menampakkan pada manusia, makhluk yang paling mulia.
Aku kan manusia juga, laki-laki lagi.
* * *
Pohon besar itu tinggal beberapa langkah lagi. Langkah ku terhenti kembali. Hatiku berdebar tak karuan. Rupanya keberanianku berangsur hilang, aku mulai ketakutan. Dari kejauhan terdengar suara lolongan anjing. Membuat aku semakin terlarut dalam ketakutan. Tubuhku menggigil hebat.
Di sekelilingku benar-benar gelap. Cahaya bulan tak cukup menerangi jalanku. Mulutku tak henti komat-kamit. Aku berdoa sebisaku, aku harus berani!
* * *
“Zen, temui pamanmu, besok kita mulai turun ke sawah” kata ayahku sambil meneguk kopi tubruknya, “katakan padanya, kalau pamanmu besok tak ada pekerjaan, ajak membantu Ayah.”
“Sekarang Yah?” aku terkejut.
“Ya,” jawab ayahku singkat.
“Tapi sekarangkan sudah jam delapan lebih,” aku coba menolak perintah ayah.
“Alah… kamu kan anak laki-laki, sudah besar lagi, tolong Ayah, Ayah sangat capek malam ini,” ayah sedikit memaksaku.
Bukannya aku takut Yah, tapi jauh. Kataku dalam hati. Mana berani aku menolak perintah Ayah. Beliau adalah idola dan orang terkasihku. Jarak ke rumah Paman memang cukup jauh, satu-satunya jalan pintas hanya melewati pohon besar. Kata orang pohon itu angker. Tapi aku tak takut sedikitpun. Tapi walaupun begitu, aku tak boleh sendirian. Aku perlu teman mengobrol di perjalanan.
Aku pamitan pada Ayah.
* * *
Aku masih ragu untuk melanjutkan perjalanan. Kakiku terasa berat sekali. Seakan-akan kedua kakiku diganduli besi berton-ton.
Tapi aku harus sampai ke rumah pamanku. Sekuat tenaga aku kembali melangkah. Aku berjalan perlahan-lahan. Padahal sewaktu berangkat tadi aku tak merasa takut sedikitpun. Kenyataannya sekarang, aku begitu ketakutan.
Pohon besar itu tinggal beberapa langkah lagi. Dalam kegelapan terlihat betapa tinggi dan besar pohon itu. Langit seakan tertutupi oleh rimbun dedaunan.
Gelap.
Samar-samar terlihat akar-akar besar bergelayutan dan terombang-ambing ditiup semilir angin malam.
Suara anjing menggonggong masih terdengar dari kejauhan. Pohon besar itu tinggal tiga langkah lagi dari hadapanku. Tubuhnya yang besar seakan menyeringai melihatku. Dahannya yang besar juga seperti bernafsu ingin mencengkram dan menangkapku.
Ayat Kursi yang kubaca tak kunjung selesai. Aku betul-betul panik. Tapi aku terus memaksakan untuk terus melangkah.
Sebenarnya aku ingin sekali berlari sejauh mungkin. Tapi itu tak mungkin karena di sekitarku gelap sekali. Kini pohon besar itu telah ada di hadapanku. Langkahku terasa semakin berat, keringat besar dan kecil bercucuran dari pori-pori tubuhku.
Tiba-tiba, sekitar sepuluh langkah di depanku, nampak sesosok putih. Melihat itu tubuhku semakin menggigil hebat. Keringatku semakin deras. Aku keraskan bacaan ayat Kursi-ku, rasanya aku ingin berbalik lari. Namun kaki ini terasa lengket dengan bumi.
Mungkin benar kiranya pohon besar itu ada penunggunya. Kalau aku punya penyakit jantung, mungkin aku sudah tergolek pingsan.
Ya Allah tolonglah diriku, jerit hatiku.
Sosok putih itu, tetap berdiam di tempatnya. Matanya bersinar terang menyilaukan. Yang ada di pikiranku mungkin ia maung kajajadén yang sering diceritakan orang.
Ketika aku perhatikan, sosok putih itu masih berdiam diri di tempat. Akhirtnya aku ambil keputusan untuk mengeluarkan jurus pamungkasku.
Aku balikan tubuhku dengan cepat.
Aku bersiap untuk berlari, tapi tiba-tiba…
Meong…meong… *
Zezen Zaini Nurdin