Si Nafri: Memapah Hari Merajut Mimpi

waktu baca 8 menit
Selasa, 3 Okt 2023 02:04 0 139 Irfan Soleh

Namanya Nafri. Umurnya genap 22 tahun hari ini. Ia akrab dengan sepi. Kesukaannya menyendiri bergumul dalam sunyi. Kecuali ketika dihinggapi penat keramaian pun ia jejaki. Ia selalu duduk dalam resah bertemankan gundah. Wajar saja ia selalu tengadah tanpa arah.

Suatu ketika suara aneh datang menghampirinya, kemudian berujar, “Nafri… kamu jangan selalu tengadah, merunduklah sejenak lihat ke bawah.”

Suara itu ingin mengingatkan bahwa di atas sana tidak selalu indah. Si Nafri tidak menggubris suara aneh itu, ia terus bermimpi berjalan di atas pelangi tuk bisa menggapai mentari.

Lamunan si Nafri seketika buyar disapa cahaya sang pagi. Kicau burung walau dari kejauhan merangsang jiwanya bersimfoni. Sambil menyeduh secangkir kopi, ia putar lagu reggae yang memicu semangatnya terdengarlah alunan syair Tony Q. Rastafara.

“Seberkas sinar telah mengusik tidur,

bangunkan aku meninggalkan mimpi pagi,

setumpuk semangat iringi langkahku,

segala puji syukur mengalir hadirkan ucapan terima kasih Tuhan,

matahariku sengat cahya-Mu adalah jutaan harapan”

Lantunan syair lagu Matahariku terus merasuk sampai ke ulu hati si Nafri. Lagu yang melahirkan bara dalam nyata. Di tengah asyik menerima energi positif lagu tadi ia teringat suara aneh yang datang mempengaruhi dalam lamunannya.

Tanya pun kembali hadir dalam pikirannya, ”kenapa mesti merunduk sejenak lihat ke bawah?”

“Ya, aku tahu ada hadis yang mengatakan bahwa undhuru ila man huwa asfala minkum wa la tandhuru ila man huwa fauqokum, lihatlah orang yang berada di bawah kamu dan janganlah kamu melihat orang yang berada di atas kamu. Tapi kan hadis itu konteksnya dalam masalah dunia, harta dan tahta. Dan saya tengadah bukan dalam rangka itu tapi untuk ilmu, ilmu dan ilmu. Kenapa mesti menunduk ke bawah?”

Si Nafri pun larut dalam tanya, hampir saja ia lupa hari ini ada workshop yang harus dia ikuti. Temanya adalah Tips and Tricks for Applying for Australian and Other International Post Graduate Scholarship.

Si Nafri berkata dalam benaknya, “waduh ini kesempatan emas jangan sampai dilewatkan, gratis lagi…”

Ia pun tersenyum sumringah melihat spanduk yang dipajang di dinding kampus. Sudah pasti si Nafri tidak akan menyia-nyiakan acara semacam itu. Sebelumnya ada juga workshop tentang Canada yang bertajuk Canadian Week dan Aminef or Fulbright Scholarship di mana pembicaranya pada waktu itu perwakilan dari Canadian and American Embassy.

Alasan si Nafri banyak mengikuti acara-acara semacam itu mungkin ia terpengaruh oleh perkataan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ADS (Australian Development School).

Peraih beasiswa itu berkata, ”kalau kita ingin melanjutkan studi ke luar negeri modal dasarnya cuma dua, yaitu motivasi dan informasi”.

“Perasaan gue udah dari dulu punya dua modal itu, tapi kok belum dapet juga nasib berangkat ke luar negeri,” gerutu si Nafri dalam hatinya.

Si Nafri sadar modal utama jelas kemampuan bahasa. Tapi lebih jauh dari itu sebenarnya yang menentukan adalah bukan motivasi atau informasi, tapi takdir Ilahi.

Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh.  Setengah jam lagi ia harus masuk kelas membantu temannya menjadi asisten dosen, karena dosen pengampu mata kuliah ini lagi berkunjung ke negeri Sakura, Jepang.

Ia pun mandi dan berpakaian rapi. Tidak lupa sebelum berangkat ke kampus ia menyempatkan diri untuk salat Dhuha dan salat Hajat terlebih dahulu. Doa pun ia panjatkan pada Sang Pencipta Sang Maha Segalanya.

Satu hal yang ia pinta pagi ini, ”ya Allah berikan aku yang terbaik untuk hari ini, karena Engkau lebih tahu diriku dari pada aku.”

Motor butut dengan suara agak berisik pun meluncur menapaki jalan yang tiap hari ia lewati. Motor yang menyimpan banyak sejarah bagi si Nafri. Motor yang selalu setia menemani si Nafri sejak kelas dua madrasah aliyah. Banyak teman bahkan orang tua si Nafri sendiri menyarankan untuk mengganti motor butut itu, namun entah kenapa ia tetap enggan menukarkan motornya sekalipun dengan motor yang lebih bagus.

“Motor itu sudah jadi soulmate-ku, ia saksi sejarah yang selalu ada dan memudahkanku dari mulai statusku pelajar sampai sekarang mahasiswa,” tandas dia dalam hatinya.

Sesampainya di kampus, si Nafri berdiskusi terlebih dahulu dengan kawannya tentang tanya apa yang akan digulirkan menjadi wacana di kelas nanti.

Tanpa panjang kata ia langsung membuka perkuliahan dengan introduction seperti minggu lalu, “kawan-kawan seperti biasa metode pengajaran yang kita gunakan, meminjam istilah eLKIS, memperkenalkan persfektif memperkaya wacana.”

Pertanyaan demi pertanyaan pun ia dan temannya gulirkan. Statement mereka berdua lama-lama bagai bola salju yang terus menggelinding semakin besar akhirnya menjadi wacana yang sangat seru dan mengundang perdebatan yang hebat. Ternyata rangsangan mereka berhasil. Mereka telah menggoyang dua kelas berturut-turut sampai azan Zuhur berkumandang mengingatkan bahwa mereka harus istirahat.

Di tengah asyik menggulirkan wacana di kelas yang terakhir, kelas ketiga, tiba-tiba handphone si Nafri bergetar pertanda ada SMS yang datang. Ia pun meminta izin membaca SMSnya terlebih dahulu. Isinya adalah, “kepada para peserta workshop diharapkan kehadirannya tepat waktu dikarenakan ada registrasi ulang.”

Sebelum izin pada temannya ia mewacanakan terlebih dahulu apa yang ada di benaknya yang kemudian akan didiskusikan. Kemudian ia bergegas berangkat menuju acara workshop. Si Nafri berlari menuruni tangga melewati gedung-gedung fakultas menuju ruang diorama.

“Silahkan registrasi dulu Kak,” sapa panitia.

“Belum dimulai ya?” tanya si Nafri dengan nafas tersengal-sengal.

“Sebentar lagi Kak,” jawab panitia.

Ia pun mencari tempat duduk yang strategis, sayangnya sudah agak penuh tapi akhirnya ia pun dapat tempat duduk persis di depan pembicara walaupun kursi agak belakang.

Acara dimulai dengan sambutan Prof. Dr. Andi Faisal Bakri, Directur International Office, yang mengatakan bahwa orang yang paling berjasa mengirimkan mahasiswa perguruan tinggi Islam ke luar negeri khususnya Barat adalah Bapak Munawir Syadzali. Berkat jasa beliau lahirlah opinian leaders di Indonesia seperti Cak Nur, Syafii Ma’arif dan Amin Rais.

Tidak lama setelah sambutan selesai moderator pun berkata, “it’s time to our speaker Tina Calivas, Ph.D, time is yours.

Miss Tina pun memperkenalkan dirinya dan tanpa basa-basi beliau langsung berbicara dengan nada datar “ladies and gentlement goals for today are: what and where you want to study, finding information-research, planning & preparation, reading & completing applications forms.

Si Nafri sangat khusuk mendengarkan penjelasan Miss Tina. Ia cerna baik-baik setiap kata yang dikeluarkan Miss Tina. Tempo pembicaraannya agak pelan tidak seperti kebanyakan native speaker mungkin tujuannya supaya apa yang beliau kemukakan bisa dipahami namun microphone-nya gak terlalu jelas jadi si Nafri harus memaksa dua kupingnya berkonsentrasi.

Tapi tiba-tiba listrik padam dan membuyarkan konsentrasinya. Miss Tina berhenti sejenak tapi kemudian melanjutkan pemaparannya. Suasana menjadi sedikit kacau karena suara tidak jelas terdengar. Riuh gemuruh peserta workshop membuat keadaan semakin buyar.

Tak terasa waktu terus berpacu sampailah pada sore hari yang dari tadi menunggu. Pemaparan Miss Tina berakhir walau dihantui pemadaman listrik yang terus mengganggu.

Si Nafri langsung keluar ruangan tanpa basa-basi tak sedikitpun menoleh kanan kiri karena yang ada di pikirannya hanya luar negeri, luar negeri dan luar negeri. Ia langsung mencari motor kesayangannya yang langsung menderu memburu satu pintu tempat ia melepas lelah, menghias resah, membunuh gundah di kediaman tercinta, Wisma Sakinah.

Sesampainya di kosan tubuh kurus si Nafri langsung jatuh terkulai lemah tak berdaya di atas lantai kotor penuh debu dan buku yang berserakan tak karuan. Matanya menerawang jauh melompati jendela kamar. Ketika melirik ke sebelah barat yang terbayang di benaknya peradaban Barat. Ia pun berpaling ke arah timur dan terbayang lebih jelas peradaban Timur.

Benaknya perlahan berkata, “gila.. mimpi gue lebih tinggi dari pengarang ‘Sang Pemimpi’ Andrea Hirata hanya bermimpi menjelajah Eropa sampai Afrika. Gue… Si Nafri gak tahu diri pengen menjelajah dua kutub peradaban tidak hanya Barat yang menjanjikan metodologi, teknologi, perubahan dan kemajuan tapi juga Timur yang menyimpan khazanah, turats yang lama terpendam yang perlu dibangkitkan dan dilestarikan”.

Ternyata pemaparan workshop tadi bagi si Nafri hanya menjelaskan setengah keinginannya karena hanya berbicara satu kutub peradaban. Itu pun sudah sangat tinggi. Sampai hatinya nyeri tak terperi.

Pikirannya melayang merambah masa lalunya. Ia ingat ketika berlibur di pantai Pangandaran. Dari pinggir pantai ia bertekad mau berenang sampai jauh ke tengah. Ia berusaha sekuat tenaga ke titik paling dalam lautan. Tapi baru sampai pelampung yang mengapung tanda batas dibolehkan berenang, terdengar sayup-sayup suara dari menara penjaga pantai melarang melewati batas pelampung. Terlihat ibu, ayah dan keluarganya melambai-lambai di pinggir pantai menyuruh si Nafri supaya berenang ke pinggir. Ia pun turut karena tak tega melihat ibunya berteriak sampai suaranya serak.

“Akankah keluarga gue jadi penghalang?” tiba-tiba pertanyaan itu ikut nimbrung dalam lamunan si Nafri.

“TIDAAAK…!!!

“Gue gak boleh jadi manusia eksternal, gue harus jadi manusia internal,” tandas benak si Nafri menggelegar dalam lamunannya.

Ia tahu bukan keadaan yang mengontrol dirinya, tapi dia sendiri lah yang mengontrol keadaan.

“I’m a driver not a passanger in life,  if  you conceive it  you can achieve  it, kata-kata itu menggema mendukung tekadnya.

Malam pun  tak bisa  dihentikan  ia  masuk  memeluk  si Nafri yang  dari  tadi  raganya terpenjara lemah tak berdaya walau hati dan akalnya nakal terus berkeliaran kesana kemari tanpa henti. Ia pun bangkit sejenak menyalakan MP3.

Terdengarlah alunan syair Nidji, “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia, berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya…”

Si Nafri kembali merebahkan tubuhnya kemudian matanya menatap tajam tulisan dalam dinding kamarnya, “bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita.”

Nidji terus bersimfoni meninabobokan si Nafri. Ia langsung terbang ke alam mimpi setelah lelah memapah hari.