“Kok, udah kebuka?” pekik Roni, bocah berumur 13 tahun yang hari ini giliran mengumandangkan azan Zuhur.
Pemandangan pertama yang dia lihat begitu sampai di masjid adalah kotak amal yang rutin mereka isi dengan koin nominal berapa pun, telah dibuka paksa.
“Kamu kan, yang ngambil?” lanjutnya seraya menuduh Aldi yang saat itu tiba lebih dulu di masjid Ar-Rahman.
Tuduhan-tuduhan masih terus dilayangkan sampai ada seorang pemuda yang tak asing bagi mereka, wajahnya basah oleh air wudhu. Tak langsung menegur, untuk beberapa saat dia mencerna keributan apa yang terjadi.
“Ada apa?” tanyanya setelah merasa cukup mengerti situasi.
Aldi yang usianya di bawah Roni tampak berlinang air mata. Dia tak menerima tuduhan kawannya tapi tak berani melawan. Hanya menggeleng tanda dia tak melakukan perbuatan keji yang disangkakan sambil menatap pengurus masjid yang juga balas menatapnya.
“Bang Firman, pasti Aldi pelakunya! Soalnya dia yang duluan masuk masjid.”
Roni masih menggebu-gebu dan dengan serampangan menuduh temannya. Dia sangat kesal melihat hasil kerja kerasnya dan beberapa temannya raib begitu saja.
“Roni, apa kamu melihat sendiri kejadiannya?” Firman menengahi kedua anak didiknya.
“Enggak, Bang. Tapi, kan…”
“Kamu lupa yang kita bahas minggu lalu?” potong Firman sambil merangkul Roni dan Aldi agar pertengkaran mereda.
Kedua anak itu tampak termenung berusaha memutar kembali memori saat belajar dengan Firman, pengurus masjid sekaligus orang yang mereka anggap abang sendiri. Sikap supelnya membuat banyak anak sekitar menjadi akrab dengan masjid. Tak sekadar untuk salat berjamaah, anak-anak itu menghabiskan waktu di masjid di bawah bimbingan Firman.
“Minggu lalu kita belajar Surat Al-Lahab. Aldi, apa gelar istri Abu Lahab?” tanya Firman dengan intonasi tenang seperti biasa. Dia memang pandai mengendalikan situasi dan emosi.
“Wanita pembawa kayu bakar, Bang,” cicit Aldi yang akhirnya berani bersuara.
“Kenapa dia mendapat gelar tersebut, Ron?”
“Itu Bang… karena dia suka menyebar fitnah,” jawab Roni lemah.
Setelah menunduk beberapa saat Roni mengulurkan tangan pada Aldi, “maaf ya, Al!”
Aldi mengangguk seraya menjabat tangan kawannya. Andai Aldi balas marah pada Roni, Firman sudah menyiapkan satu kisah lagi untuk mereka. Kisah Rasulullah yang pemaaf rasanya belum disampaikan pada anak-anak pengajian yang jumlahnya terus bertambah. Firman tak menyangka bisa ada di titik ini. Padahal saat awal merintis, untuk mengajak satu anak saja dia harus melobi berhari-hari. Tak jarang ada kalimat sumbang yang mampir di telinga.
“Bang, jadi siapa dong pelakunya?” tanya Aldi yang suaranya kini sudah nyaring seperti sediakala.
“Iya Bang, jangan sampai ada Aldi-Aldi berikutnya,” tambah Roni terkikik karena ulahnya sendiri.
“Tentu Abang punya cara untuk menemukan pelakunya. Mana mungkin Abang terus membahas istri Abu Lahab, kan?”
Aldi dan Roni tertawa mendengar gurauan balasan dari guru sekaligus abangnya. Mereka menemukan kasih hangat keluarga pada sosok Firman. Memang bukan anak yatim piatu, namun orang tua mereka bekerja seharian bahkan pulang saat anak-anaknya sudah terlelap. Loper koran, ART harian, pemulung, dan pekerjaan lainnya yang membutuhkan banyak waktu untuk menghasilkan lebih banyak rupiah.
“Jangan sampai anak saya bernasib seperti saya. Saya cari duit mati-matian buat sekolahin mereka biar gampang cari kerja. Nggak usah ngorek-ngorek tempat sampah.”
Kalimat yang masih terngiang di benak Firman saat menemui orang tua anak didiknya untuk meminta izin bahwa ke depannya sepulang sekolah anak-anak akan kajian di masjid Ar-Rahman.
Alhamdulillah, dia tak menemui kendala berarti saat meminta izin orang tua. Semua bisa diatasi dengan kesungguhannya mendedikasikan diri untuk umat. Memang ada beberapa yang kurang responsif, wajar karena belum ada hal nyata dari kajian yang diselenggarakan. Dan bisa jadi, mereka belum percaya pada orang baru seperti Firman. Tentu pemuda itu akan menjaga tanggung jawab yang sudah dia dapat.
Firman melirik ke halaman masjid. Ada seorang anak laki-laki dengan karung dan pengait besi di tangannya tengah mencuri-curi pandang ke dalam masjid. Sudah sering dia melihat anak itu di sekitar masjid, bahkan beberapa kali anak didiknya mengajak dia ikut kajian. Tapi, dengan langkah cepat anak itu berbalik meninggalkan masjid tanpa sepatah kata pun. Sehingga jangankan bergabung, namanya pun masih misteri.
Firman melambaikan tangan kepada bocah misterius itu. Sesuai prediksi, anak itu kemudian lari keluar pagar meninggalkan area masjid. Tidak lama lagi dia pasti bergabung, batinnya yakin.
“Jangan-jangan ada CCTV. Ayo Bang kita cek!” seru Aldi sambil mengentak tangan Firman.
“Ada CCTV?” Roni melihat ke atas menyapu sekeliling langit-langit masjid, “mana?”
“Emang nggak ada. Kalau ada CCTV, nanti ketahuan siapa yang suka ngintip anak perempuan pas kajian,” kata Firman sambil menyentil kecil kening Roni dan Aldi bergantian.
“Terus gimana caranya Abang tau pelakunya?” tanya Aldi penasaran sambil menggosok keningnya.
“Sekarang beresin aja dulu kotak amalnya lalu siap-siap salat Zuhur. Kalian ke sini tujuannya untuk salat berjamaah, kan?”
“Baik, Bang!” jawab dua sekawan hampir bersamaan.
Roni yang bertugas sebagai muazin segera mendekati mimbar. Merapikan tempat salat imam dan memastikan sajadah makmum sudah rapi dan bersih.
Aldi tampak sibuk membereskan kotak amal yang isinya tinggal beberapa keping koin. Sepertinya si pembobol terburu-buru pergi karena beberapa koin tercecer di lantai.
Setelah kumandang azan, anak didik Firman berdatangan. Menyalami gurunya yang baru selesai salat Rawatib. Aldi dan Roni tidak membahas kasus kotak amal di sela waktu azan dan ikamah karena pasti Firman akan menyentil kening mereka lagi, bahkan mungkin tidak sepelan tadi.
Ikamah kembali dilantunkan oleh Roni, kemudian saf yang berjajar rapi itu bersiap mengikuti imam, sami’na wa atho’na.
Selesai salat, mereka duduk melingkar. Biasanya, mereka akan membahas masalah-masalah ringan sehari-hari atau mengerjakan tugas sekolah dibantu Firman. Tapi, kali ini Roni yang mengambil alih diskusi.
“Sebelum Zuhur, ada kejadian mengejutkan di masjid…”
“Kotak amal dibobol maling!” sambar Aldi yang tak sabar dengan kalimat pembukaan Roni.
Tujuh anak yang baru tahu kejadiannya tampak kaget dan segera menengok kotak amal di dekat pintu. Terlihat kuncinya telah dibuka paksa. Ada rasa kecewa dan marah yang tergambar. Wajar, tak akan ada yang senang jika rumah yang dijaga sepenuh hati dibobol pencuri.
“Sudah-sudah! Abang punya cara untuk menangkap pelakunya.” Firman segera membeberkan rencananya sebelum dia harus kembali menceritakan kisah istri Abu Lahab. Baru kali ini mereka terlibat percakapan serius bakda Zuhur.
Sesi percakapan selesai, dilanjut dengan membereskan halaman masjid walau lebih banyak porsi mainnya. Firman tidak menegur mereka yang tidak mengerjakan tugasnya. Selepas penat sekolah tentu mereka harus rileks. Pandangan Firman kembali tertuju pada bocah pemulung yang dari tadi belum pergi dari lingkungan masjid. Dia berdiri tak jauh dari tembok pagar masjid. Anak-anak tengah duduk di tembok tersebut termasuk Aldi dan Roni yang tampak serius menceritakan kronologi pembobolan kotak amal.
“Bang Firman udah punya bukti siapa pelakunya,” seru Aldi lantang.
“Masa?” tanya Bayu yang paling penasaran karena belum jelas dengan peristiwa yang terjadi.
“Iya, barang buktinya tertinggal di lokasi kejadian,” papar Roni bak polisi yang tengah melakukan konferensi.
“Barang buktinya disimpan di perpustakaan masjid,” celoteh Aldi yang mendapat cubitan Roni setelahnya.
“Ini, kan, rahasia. Kenapa kamu bocorin?” Roni tampak kesal pada ulah Aldi yang sekarang menutup mulutnya dengan kedua tangan. Aldi terlalu banyak berbicara.
“Bilangin nih sama Bang Firman.”
Roni berlari ke arah masjid diikuti teman-temannya, “Baaaang, si Aldi bocorin rahasia kitaaa…”
“Roni, jangan diaduin dong!” Aldi menyusul ketakutan.
Saat mereka masuk masjid, ada satu anak yang berjalan mengendap ke perpustakaan yang terletak di samping masjid. Lebih cocok disebut ruang penyimpanan buku karena berukuran kecil. Setelah mengambil buku, biasanya anak-anak akan membaca di teras masjid.
Langkah itu semakin dekat dengan pintu perpustakaan. Karena tak pernah dikunci, dia bisa langsung masuk dan mencari benda yang dimaksud Aldi. Hanya sedikit celah pintu yang dia buka dan tidak ditutup lagi, khawatir menimbulkan bunyi nyaring dan membuyarkan operasi senyapnya.
“Mau membaca apa, Dik?”
Baru beberapa langkah, si Pengendap terperanjat. Dia tersudut karena suara si penanya ada di belakangnya yang berarti menutup akses keluar satu-satunya ruangan tersebut.
“Mencari peci ini, ya?” tanyanya lagi dengan suara seteduh biasanya.
Karungnya merosot dari pundak. Besi kaitan berkelontang menembuk lantai perpustakaan. Air mata hampir membobol tanggul kokoh yang sering diuji kehidupan. Tanggul yang tak pernah roboh oleh hinaan, rasa lapar, dan kerinduan sosok orang tua.
“Nama kamu siapa?” tanya Firman saat bocah itu memutar badan ke arahnya.
“Yusuf. Maafkan saya, Bang Firman. Saya tidak ingin mencuri tapi ….”
“Mencuri itu tidak baik. Selama ini kamu memulung untuk mendapatkan uang. Tentu ada hal lain yang membuat kamu nekat mencuri.”
“Nenek…” suaranya tercekat, “Nenek saya sakit. Saya sudah beli obat warung tapi Nenek belum sembuh juga. Saya ingin membawa Nenek berobat.”
Firman mengulurkan tangan, mengajak Yusuf untuk mendekat. Dia ingin mengelus kepala Yusuf seperti yang biasa dia lakukan pada anak didiknya yang lain. Namun, Yusuf malah mengorek karungnya lalu menyerahkan uang yang berhasil dia bawa dari kotak amal.
Firman menarik lengan kecil itu lalu memeluknya. Isakan Yusuf semakin kencang. Suara yang tak pernah Yusuf perdengarkan pada siapa pun termasuk sang Nenek. Dia selalu memaksa dirinya untuk kuat.
“Kenapa kamu tidak langsung pulang ke rumah?”
“Saya mendengar bahwa Bang Firman menyimpan barang bukti pelakunya,” jawab Yusuf masih terisak. “Saya tidak membawa apa pun selain karung dan pengait ini. Jadi, yang disimpan Abang pasti barang milik orang lain. Saya tidak mau kesalahan saya malah mencelakakan orang lain.”
Firman mengelus kepala Yusuf. Dia tak menyangka anak itu berpikir demikian. Awalnya, dia merencakan ini hanya untuk memancing Yusuf mau mengakui kesalahannya saat berusaha mengambil barang bukti. Pun, peci yang dimaksud adalah milik Firman sendiri.
“Saya tidak bermaksud mencuri. Saya akan menggantinya saat punya uang. Saya tidak mau kehilangan Nenek.”
Firman yang masih di ambang pintu mengibas tangan kanannya di belakang punggung. Memberi kode pada anak didiknya untuk berhenti menguping dari celah pintu yang terbuka dan segera pergi agar Yusuf tidak tahu bahwa percakapannya disimak orang lain. Bocah-bocah itu berjalan menunduk memutar ke belakang masjid ke jalan yang mereka lewati tadi.
Esoknya, Firman kembali melihat Yusuf dari balik jendela masjid. Namun kini berbeda, lambaian tangannya dibalas Yusuf yang kemudian melanjutkan mengepel teras masjid.
Nurul Azizah
Ciamis, 24 April 2022