“Sudah, ayo makan dulu Nak. Seharian ini kamu mantengin laptop terus, apa matamu gak sakit? Lagian kerja itu harus ada istirahatnya nak, jangan sampai lupa dengan kesehatanmu,” kata Ibu.
Ibu begitu mengkhawatirkan aku, yang sejak pagi hingga sore masih berkutat dengan laptop, berhenti hanya untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslimah. Setelah itu kembali aku mantengin laptop.
“Sakit sih Bu, perih. Tapi ini kerjaan harus selesai hari ini, biar besok bisa Senja laporkan ke atasan Senja,” dengan hati-hati aku menjelaskan pada Ibu.
“Iya, Ibu tahu, tapi ya harus tahu waktu juga, jaga kesehatan juga,” kata Ibu di sela-sela melipat pakaian yang tadi diangkatnya.
“Iya Ibu sayang… bentar lagi ya,” aku menatap Ibu sambil tersenyum dan mengedipkan mata.
“Harus sekarang, gak ada kata sebentar lagi. Sudah sana cuci tanganmu dan makan. Ibu sudah masak tumis kangkung kesukaanmu,” kata Ibu.
“ Siap ibuku sayang.”
Akhirnya aku mengalah juga, gak tega terus-terusan mengabaikan perintah Ibu.
Akupun pergi ke dapur, duduk di meja makan dan membuka makanan. Benar saja ada tumis kangkung kesukaanku, di pinggirnya nasi putih masih mengepul, membuat perutku kukuruyuk. Aku langsung mengambil nasi dan tumis kangkung kemudian melahapnya.
“Astagfirullah Nak, gak berdoa dulu kah?”
Tiba-tiba Ibu sudah berada di belakangku. Aku hanya nyengir.
“Senja lupa Bu, maaf,” kataku nyengir kemudian melafalkan doa mau makan.
“Kayak anak kecil aja,” Ibu kemudian duduk di sebelahku. Matanya tiba-tiba terlihat sendu.
“Lho kenapa Ibu terlihat sedih?” tanyaku, urung menyuapkan nasi ke mulutku.
Ibu menarik nafas dalam-dalam, seolah sedang menghadapi beban berat kemudian menatapku.
“Senja…”
“Ya bu.”
“Ibu kenapa? Apa ada masalah ya? Koq tiba-tiba saja ibu terlihat bingung dan sedih seperti itu, ayo cerita sama Senja, Bu.”
Aku menghadap Ibu dan menaruh kembali nasi yang tadi hendak aku masukan ke mulut.
Ibu masih diam.
“Ayolah Bu cerita sama Senja, Ibu kenapa? Apa Ibu sakit? Kalau Ibu sakit, Senja anter ke dokter ya Bu?” Ibu menatapku sendu, lalu menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat.
“Nak.”
“Ya, Bu.”
“Ibu semakin hari akan semakin tua Nak…”
“Tidak koq, Ibu semakin cantik buat Senja,” kataku menggoda, dengan maksud mencairkan suasana agar tidak terbawa melow.
Ibu terlihat melotot ke arahku. Akupun menangkupkan kedua tanganku di depan dada menandakan aku meminta maaf, walau masih dengan cengengesan.
“Ibu sudah semakin tua Nak, sudah mendekati hari penjemputan. Namun sebelum hari itu tiba, Ibu ingin sekali melihat kamu berkeluarga dan memiliki anak. Agar sebelum Ibu pergi, Ibu bisa merasakan menggendong cucu.”
Wajah Ibu nampak sangat serius. Aku yang tadinya cengar-cengir, seketika diam. Kemudian perlahan menyuapkan nasi ke mulut. Melihat permintaannya tak direspon, Ibu kembali berkata, “Nak, Senja anakku, maukan kamu memenuhi pemintaan Ibu dalam waktu dekat, sebelum Ibu pergi?”
Aku masih cuek menyuapkan nasi ke mulut mendengar keinginan itu.
“Memangnya Ibu mau kemana Bu?”
Aku masih pura-pura belum mengerti, padahal aku tahu kemana arah tujuan pembicaraan Ibu.
“Nak, tak inginkah kamu memberi Ibu seorang cucu?”
“Ibu ini aneh deh, gimana mau beri Ibu cucu, kan aku nikah aja belum Bu,” kataku sambil terus melanjutkan makan.
“Ya itu dia Nak, makanya cepet kamu nikah, “kata ibu.
“Memangnya nikah sama siapa Ibu?”
“Ya nikah sama laki-laki dong, masa mau nikah sama perempuan.”
Kali ini Ibu agak sedikit tersenyum.
“Nah gitu dong Bu, senyum. Kan kalau Ibu senyum makin cantik Bu,” aku masih saja menggodanya.
“Senja…”
“Maaf Bu, bukannya Senja gak mau mengabulkan keinginan Ibu dakam waktu dekat, namun hingga saat ini Senja belum memiliki teman dekat Bu,” akhirnya aku bicara serius juga.
“Ibu tahu Nak, makanya Ibu sekarang utarakan sama kamu apa yang Ibu inginkan sebelum akhirnya Ibu pergi. Karena Ibu tahu kamu belum memiliki calon.”
Ibu berhenti sejenak sambil menatapku lekat-lekat.
“Terus, maksud Ibu gimana?” selaku.
“Ibu bermaksud menjodohkan kamu dengan anaknya teman almarhum ayahmu, Nak.”
“Bu, ini sudah bukan zamannya Siti Nurbaya lagi lho, jadi aku gak mau dijodoh-jodohkan kaya gitu Bu,” kataku sambil bangkit dari duduk hendak membereskan piring kotor bekas makan.
“Tapi Nak, orangnya pinter dan saleh lho Nak, mapan lagi,” kejar Ibu.
“Memangnya darimana ibu tahu kalau orangnya saleh?” tanyaku tanpa menoleh ke arah Ibu.
“Lha, ya kata ibunya lho Nak. “
“Ibu, kalau hanya katanya, itu tidak valid Ibu. Mungkin saja ibunya ngarang agar menutupi kelakuan putranya. Jadi tidak boleh hanya katanya lho Bu . Lagian Ibu, aku gak usah dicariin jodoh atau dijodoh-jodohin sama siapapun, karena aku juga bisa nyari sendiri,” kataku sambil membereskan piring yang baru selesai kucuci bersih.
“Kalau memang kamu bisa nyari sendiri, koq sampai sekarang gak pernah bawa calonmu untuk diperkenalkan “
“Ibu, itu karena aku ingin serius dulu dalam menggapai mimpi dan cita-cita. Ingin membahagiakan dulu Ibu, makanya aku putuskan untuk menjalani karir dulu. Urusan jodoh nanti belakangan,” dengan hati-hati aku menjelaskannya pada beliau.
“Nak, tiada yang lebih membahagiakan Ibu saat ini selain melihatmu berkeluarga. Mempunyai suami dan anak-anak yang saleh dan salehah. Ingat Nak, usiamu sekarang sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga,” papar Ibu.
Aku menatapnya. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya, terasa ada sesak dalam dada.
“Baiklah kalau memang itu yang Ibu mau,” aku menggenggam tangannya.
“Maksudmu nak?”
“Beri aku waktu Bu, untuk mengabulkan keinginan Ibu itu.”
Ibu hanya mengangguk.
Akupun tersenyum melihat wajahnya yang kembali beseri-seri setelah mendengar penuturanku. Ya Allah, aku tak ingin menghapus senyum ceria di wajah Ibuku. Semoga aku selalu bisa mebuatnya tersenyum. Aku memeluknya hangat. Aneh, ada rasa lain yang aku rasakan saat itu, menjalari tubuhku. Ada apakah ini?
“Sudah, sana pergi ambil wudhu. sebentar lagi waktu salat Asar,” Ibu menepuk bahuku, membuatku tersentak. Aku hanya mengangguk dan pergi mengambil air wudhu.
Malam selepas salat Isya, seperti biasa aku berkutat lagi depan laptop, karena masih ada beberapa pekerjaan kantor yang belum aku selesaikan. Namun tak sepeti biasa, aku saat itu tak bisa konsentrasi dengan pekerjaan depan mata. Ingatanku kembali ke ungkapan ibu tadi siang. Mungkin bagi sebagian orang permintaan itu bukanlah permintaan yang sulit, namun bagiku? Sungguh aku masih bingung untuk mengabulkannya. Bagaimana tidak sulit, selama ini aku tak dekat dengan satu laki-laki pun, gimana mau nikah. Sementara aku harus segera memenuhi janjiku siang tadi pada Ibu. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, sungguh benar-benar membuat konsentrasi kerjaku ambyar.
Entah sejak kapan aku tertidur di kursi, terbangun ketika mendengar suara alarm di kamar Ibu. Tandanya sudah pukul dua pagi, karena biasanya Ibu pukul dua suka menunaikan salat Tahajud dan dilanjut membaca Alquran. Semakin lama koq gak juga dimatiin. Aku bangkit dari tempat tidur hendak ke kamar Ibu.
“Bu, Ibu belum bangun kah?”
Aku mengetuk-ngetuk pintu. Namun tak ada jawaban dari dalam, hanya suara alarm yang masih berbunyi. Aku mengulang-ngulang memanggil Ibu, namun tetap saja tak ada jawaban dari dalam. Hatiku mulai tak enak, pikiran mulai macam-macam. Akhirnya dari mengetuk menjadi menggedor-gedor sambil memanggil-manggil Ibu. Namun tetap saja Ibu tak mejawab apalagi membukakan pintu. Dalam keadaan panik, kuambil meja kayu dan kutabrakan ke pintu kamar Ibu. Setelah berkali-kali mendobrak, barulah pintu terbuka. Kuberlari menghampiri tempat tidur Ibu, ternyata Ibu sudah terbujur kaku, namun wajahnya berseri dan tersenyum. Kuberteriak dan kupanggil-panggil Ibu namun tak ada suara yang keluar dari mulut beliau. Saat itu aku menangis dan memeluk Ibu. Saat itu teringat kembali kejadian kemarin sore di mana aku memeluk Ibu dan kurasakan hal lain yang mungkin itu suatu pertanda kalau Ibu akan pergi jauh hingga beliau memelukku dengan erat.
Aku tersadar, kemudian aku berlari keluar untuk memberitahu tetangga tentang kepergian Ibu. Saat itu juga rumah jadi ramai oleh para tetangga, saudara yang melayat. Aku hanya bisa menangis dan menangis sampai seseorang menepuk pundakku dan menenangkanku.
“Sabar ya Dek, ikhlaskan Ibu. Beliau sudah tenang. Jangan kamu sepeti ini, karena hanya akan memberatkan ibumu.”
Aku menoleh, kulihat seorang pemuda asing duduk disampingku.
“Maaf, siapa kamu? Kamu mengenal ibuku?”
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk. Sungguh aku belum pernah melihat pemuda ini di desa ini. Siapa dia sebenarnya?
“Namaku Ahmad, aku anak dari teman almarhum ayahmu. Ayahku yang menyuruhku datang ke sini untu mengenalmu, namun tenyata kamu saat ini sedang berduka, aku minta maaf jika kedatanganku tak pas waktunya.”
Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk.
Setelah selesai mengurus pemakaman ibu, aku kembali ke rumah. Sepi, sunyi tanpa Ibu di sini. Kembali aku menangis. Beberapa tetangga menemaniku, termasuk Ahmad. Tiap malam di rumah banyak orang yang mendoakan Ibu. Alhamdulillah banyak untaian doa untuk Ibu, semoga Ibu tenang di sana, mendapatkan nikmat kubur. Amin.
Sebulan setelah kepergian Ibu, Ahmad melamarku. Dan tak ada alasan untuk bagiku untuk menolaknya. Aku menikah dengannya tanpa kehadiran kedua orangtuaku karena mereka sudah tenang di sana.
“Bu, aku sudah memenuhi permintaan Ibu. Menikah dengan Ahmad, semoga Ibu tenang di sana. Doaku selalu mengalir untukmu,” bisikku setelah aku sah menjadi suami laki-laki yang Ibu inginkan.
Hari ini tangisku bukan tangis duka tapi tangis kebahagiaan.
Elly Herawati