Suci Sekeping Hati

waktu baca 11 menit
Minggu, 1 Okt 2023 01:21 0 98 Kiki Masduki

Sekeping hati dibawa berlari

Jauh melalui jalanan sepi

Jalan kebenaran indah terbentang

Di depan matamu para pejuang”*)

***

Kabut tipis turun perlahan pada pagi hari yang dingin menusuk hingga ke sumsum tulang.

Sri dan Yanti bersisian pulang mengaji dari masjid Al-Ikhlas di kaki bukit. Masjid yang nyaman sebagai tempat  menghabiskan waktu sore menjelang magrib hingga pagi menunggu terang menjelang. Bermain bersama kawan sekampung. Mengaji. Melantunkan puji-pujian, selawat dan syair lainnya.

Di depan masjid, hamparan sawah menghijau bertingkat- tingkat terasering hingga kepinggir hutan. Di belakangnya ada air terjun kecil sekaligus tempat kami mengambil air wudhu. Kecipak air pegunungan yang bening membuat jiwa kami senantiasa terbasuh setiap saat. Sejuk dan menenangkan.

Di samping masjid ada rumah kiai kami yang biasa kami panggil akang. Akang Badrudin beserta istrinya Étéh Darliah. Jika waktunya untuk istirahat anak-anak dan remaja putri bermalam di rumah Étéh. Sebuah kamar cukup besar menampung sepuluh anak dan remaja putri. Sri dan Yanti menjadi kakak bagi mereka yang usianya satu atau dua tahun di bawahnya.

Sementara anak-anak dan remaja lelaki tidur di masjid. Bang Ahmad putra kiai selalu mengambil alih tugasnya menjaga mereka. Bang Ahmad tinggi semampai dengan wajah teduh dan tampan. Ia pemuda panutan kami semua.

Bulan depan ia sudah mau masuk di pondok pesantren Sindangsari. Akang melarangnya melanjutkan kuliah. Biar lebih fokus dulu pada ilmu agama. Kuliah bisa diraih setelah tamat mondok.

“Sri, nanti jam sembilan datang ke rumahku ya, jangan telat dan jangan lebih cepat, ya!” Yanti mengingatkan Sri sahabatnya.

Hari Ahad. Waktunya untuk sejenak melupakan tugas-tugas sekolah. Yanti punya kejutan manis untuk sahabatnya itu. Seminggu yang lalu sepatu Sri jebol. Jarak sekolah yang lumayan jauh dengan jalanan  tak rata membuat sepatu siapapun akan cepat rusak. Terkadang mereka menentengnya jika jalanan tidak panas. Tetap saja akan rusak pada waktunya. Karena dari jalan desa yang lumayan bagus mereka masih harus berjalan lagi sekitar dua kilometer.

“Sri,” Yanti kembali menyebut nama sahabatnya itu.

“Ya,” Sri memgangguk perlahan. Langkahnya terhenti. Ada keraguan di hitam bola matanya.

“Kenapa?” Yanti bertanya.

Abah?” lanjut Yanti.

Sri mengangguk lemah.

“Aku ikut Ceu Odah saja gitu ya, Ti? Jadi TKW di Hongkong. Bisa gak? Berapa biayanya? Kapan Ceu Odah datang ke kampung ini?” rentetan pertanyaan datang dari Sri yang kali ini memasang wajah lebih serius.

Yanti mengambil tangan kanan Sri. Dibawanya Sri menepi di bawah pohon beringin tua di pinggir jalan.

“Kau akan tega meninggalkan Ambu yang sudah sakit-sakitan?”

Yanti mencari kesungguhan di wajah Sri. Teman sejak SD dan kini mau naik ke kelas 2 SMA itu, selalu dirundung duka sepanjang waktu.

Sri membuang muka. Melepaskan tangan kanannya dari genggaman Yanti.

Sri menatap tetesan embun pagi  yang bergelanyut manja di ujung helai-helai daun padi. Mentari mulai terlihat lebih terang di ufuk timur. Semburat jingganya menawarkan lukisan alam yang begitu indah.

“Sri,” Yanti merengkuh bahu kanan Sri.

“Habis bagaimana lagi Ti? Aku tidak punya kesempatan untuk belajar lagi!”

“Dari waktu-kewaktu membantu Abah, melayani Ambu. Apalagi sejak Bang Yudi wafat, Abah semakin cepat marah!”

Sri menahan sesak di dada. Yanti menarik Sri dalam pelukannya. Sri menangis. Dalam hati Sri bersukur sekali punya sahabat sebaik Yanti. Tempat berbagi keluh dan kesahnya setiap waktu.

***

Rumah Sri dan Yanti tidak terlalu jauh. Terpisah oleh  tiga petak sawah. Tapi jalannya harus memutar melalui pinggiran kebun singkong milik Ceu Odah. Salah satu orang kaya penyalur  TKW ke luar negeri.

Beberapa kawan SD-nya banyak yang menjadi TKW di Hongkong, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Sri dan Yanti lahir pada bulan dan tahun yang sama. Berbeda selisih tiga hari saja. Praktis sejak kecil sudah terbiasa pergi mengaji dan sekolah bersama.

Yanti selalu main kerumah Sri. Begitupun sebaliknya. Kadang sampai bermalam. Yanti senang jika Bang Yudi kakaknya Sri bercerita setiap kali Yanti menginap. Ambu dan abah Sri sudah Yanti anggap sebagai keluarganya  sendiri.

Beruntung, baik ibu dan ayah Yanti tidak memperdulikan kebiasaan Yanti yang berteman baik dengan Sri. Walaupun mereka hidup lebih baik dari keluarga Sri. Ibunya Yanti memiliki warung yang lumayan besar. Satu-satunya di kampung  Cikopéng tersebut. Sehingga hampir selalu ramai dengan pembeli.

“Yan, anterin ini ke ambu-nya Sri,” sering Ibunya Yanti berbagi apa pun pada keluarga Sri.

Sedangkan ayah Yanti yang bekerja di kantor kecamatan terkadang  memanggil Bang Yudi untuk membantu mengurus sawah, kebun dan kolam ikannya.

Sayang usia Bang Yudi yang sepantaran dengan Bang Ahmad itu harus terhenti akibat tertimpa pohon mahoni yang ditebang abahnya. Sejak saat itulah ambu-nya Sri jatuh sakit. Hampir bisa disebut gila. Sedangkan abah-nya Sri menjadi mudah marah.

“Nanti jam sembilan datang kerumah ya. Kita bicarakan bersama Ibu dan Ayah,” Yanti mencium jilbab putih Sri.

Mereka berpisah di pertigaan jalan.

***

 

“ Akan kuatkah kaki yang melangkah

 Bila disapa duri yang menanti

 Akan kaburkah kata yang meratap

 Pada debu yang pastikan hinggap

 

 Tapi jalan kebenaran

 Tak akan selamanya sunyi

 Ada ujian yang datang melanda

 Ada perangkap menunggu mangsa”*)

***

Jerat kemiskinan terasa mengiris hati. Sebuah kampung di lereng gunung yang telah berpuluh tahun dibiarkan terisolir. Sebagian warganya menyandang gelar pahlawan devisa. Namun tak memberi arti apa-apa pada kehidupan kampungnya selain potret kemiskinan yang semakin membelit.

Jam 09.00 siang ternyata Sri belum datang. Yanti gelisah menunggu kedatangan sahabatnya itu. Apalagi setelah tahu dari Ibu, Ceu Odah ternyata baru datang tadi malam.

“Bu, Sri kok belum datang ya?”

“Samperin gih, jangan sampai Sri yang lagi galau bertemu Ceu Odah,” Ibu mulai khawatir.

Sementara Ayah baru datang dari kebun.

“Yan, itu Sri katanya mau ke sini, mengapa malah kerja di kebun singkongnya Ceu Odah?”

Deg!

Seperti ada palu godam yang mendera dada Yanti.

“Yang benar Ayah?”

“Iya, Apalagi itu Ceu Odah. Gayanya… Sok paling berkuasa! Heuh!” Ayah terlihat kesal.

“Gimana Bu? “ Yanti meminta persetujuan Ibu.

“Jangan sekarang Yan. Kita jangan cari gara-gara sama perempuan rentenir sekaligus  penyalur TKW itu,”

Ayah mengangguk setuju. Yanti berusaha menahan tangis.

“Sudah, mendingan salat Dhuha dulu. Doakan Yanti dan keluarganya. Nanti habis Zuhur, Ibu temani ke rumah Sri,” lanjut Ibu.

Yanti berhambur dalam pelukan Ibu. Mencari ketenangan. Mencari surga dalam keridaan-Nya.

***

Matahari mulai sedikit bergeser ke arah barat. Tergelincir di batas cakrawala. Angin pegunungan bertiup lembut. Menerpa daun-daun menghijau bertumpuk-tumpuk. Menerbangkan daun-daun kering yang menyuburkan bumi dengan komposnya.

“Asalamualaikum.”

Ibu mengetuk pintu rumah Sri. Tidak ada jawaban.

“Asalamualaikum,” kini Yanti yang mengucap salam.

Perlahan pintu terbuka. Serabut wajah lelah dan berumur muncul dari balik pintu yang dibuka sedikit.

“Yanti, Bu Joko,” Abah-nya Sri. Dengan senyum dipaksakan menyapa. Tanpa menjawab salam.

“Srinya ada Bah?” Yanti bertanya.

Abah terdiam.

“Kemana Bah?” Yanti kembali bertanya.

Abah menggeleng. Ibu mulai tidak tenang berdiri disana. Hening menyapa.

“Saya mau lihat Ambu, bolehkah?” Ibu membuka suara. Mengakhiri kecanggungan yang mampir.

Tanpa menunggu jawaban Abah. Ibu masuk.

“Permisi Bah,” Ibu mendorong pintu yang sepertinya enggan dibuka Abah.

Astaghfirullah!” Ibu berteriak cukup keras.

Yanti pun menahan kaget yang luar biasa. Di hadapan mereka sesosok perempuan tua, terpasung di atas tikar yang sudah rusak di sana-sini.

Ambu…! Yaa Robbi. Maafkan saya, baru bisa menengok lagi. Yanti! Bukannya kau yang sering kesini?” Ibu menangis sekaligus memarahi anaknya.

“Seminggu yang lalu Bu!  Sejak itu setiap kali Yanti mau main, Sri selalu melarang masuk,” Yanti membela diri.

“Allah…”

Ibu berkali-kali berzikir. Tubuh kurus Ambu bercampur dengan bau pesing kotoran yang sepertinya dibiarkan menumpuk.

“Panggil Ayah, Yan! Ayo! Ya Allah!” setengah kalut Ibu menyuruh Yanti memanggil ayahnya.

Begitu Yanti berbalik! Sri telah berdiri di pintu depan dengan wajah sinis. Sementara Abah masuk kamar dan menutup pintunya keras-keras.

“Tidak perlu panggil siapa-siapa Ti! Ngapain kalian masuk rumah Sri? Pergi sana! Jangan pura-pura sok peduli! Biarkan kami menentukan nasib sendiri.”

Sri duduk  di kursi kayu pojok rumah. Satu kakinya dinaikan pada kaki sebelahnya.

Ibu dan Yanti duduk terpaku disamping Ambu. Ada yang aneh dalam penampilan Sri. Kemana kerudung yang selalu menutupi auratnya?

Dan…

“Kau dandan Sri?” Yanti menahan mulutnya seketika.

Gimana? Cantik kan? Ceu Odah yang ngajarin. Heuh. Mengapa gak dari dulu ya kenal lebih dekat sama Ceu Odah? Ibu sih yang melarang! Hehe,” Sri melirik sama Ibunya Yanti.

“O ya, Ti. Nanti sore gak usah nyampeur buat ngaji ya. Aku ada acara di rumah Ceu Odah. Dan sekarang silahkan keluar dari rumahku!” Sri berdiri sambil memainkan kuku-kuku tangannya yang sudah dicat dengan warna pink.

“Tapi Sri, Ambu,” Ibu menunjuk Ambu.

“Sudah biarin ajah, biar cepat mati!”

Bumi seakan merekah menghimpit Ibu dan Yanti. Sesak atas apa yang terjadi di hadapannya. Tak berdaya melihat segala takdir yang kini berlaku pada keluarga Sri.

“ Mengharap senang dalam berjuang

 Bagai merindu rembulan ditengah siang

 Jalannya tak seindah sentuhan mata

 Pangkalnya jauh hujungnya belum tiba”*)

 

***

Angin kemarau bertiup. Gerah. Pohon meranggas. Rumput mengering. Mata air tersumbat. Air mata mengalir. Pembasuh luka di saat derita menyapa. Penawar rindu di saat sesak di dada.

Waktu bergulir. Detik menit berjalan tanpa bisa dimaju mundurkan. Rentang jarak membentang. Kota menawarkan pesona. Kampung terpasung dalam kesunyian.

Pahlawan devisa mengepak sayap. Menuju negeri-negeri asing. Walau sebagai pembantu. Ada kebanggaan asalkan jauh dari kenangan yang membelenggu. Kemiskinan. Ketertinggalan. Merubah nasib. Nasib mengubah. Melawan takdir. Sesekali terkirim wesel menuju tempat kelahiran. Tak mau disebut lupa daratan.

Satu dua menjadi lebih baik. Tiga empat terjebak dalam gemerlap duniawi. Ternoda. Menodai. Nafsu angkara menguasai.

Kepingan hati daun-daun muda. Dari kampung nan indah permai. Suci tanpa polesan. Merintih. Meratap. Tak mampu menatap. Pandangan kabur. Terhalang debu jalanan. Negeri asing yang membutakan.

***

Siang itu Yanti pulang dengan wajah bercahaya. Akhirnya semua impian yang ia kejar di bangku SMA telah tercapai dengan sempurna.

“Ibu, Ayah, Yanti lulus,” dikecupnya tangan Ibu dan Ayah dengan linangan air mata yang membanjir.

“Alhamdulillah,” hampir bersamaan Ibu dan Ayah mengucap syukur.

“Alhamdulillah,” satu suara menyusul kemudian. Dari balik pintu tempat penyambutan Yanti di teras depan.

Yanti masuk dan langsung berhambur dalam pelukan hangat. Seorang wanita tua di kursi roda yang tak mampu menahan sesak. Tubuhnya bergetar penuh luka. Hatinya tercabik. Terkoyak. Sungguh sakit sekali rasanya.

Ambu. Terima kasih atas doa-doanya,” hanya itu yang bisa Yanti ucapkan.

“Alhamdulillah,” Ambu mengucap syukur kembali.

Diusapnya berkali-kali kepala  Yanti yang tertutup jilbab putih lebar.   Hampir dua tahun Ambu menjadi bagian dari penghuni rumah itu. Setelah dengan paksa diambil dari Abah yang meradang jalang.

Walau rantang makanan rutin Ayah kirimkan pada Abah. Hampir tak pernah disentuhnya kecuali sedikit saja. Abah mengurung diri. Berhari- hari. Tak ada yang ia pedulikan. Sekalipun yang datang seorang kiai.

“Pergi kalian semua! Biarkan aku mati sendiri,”

Keesokan harinya. Ayah menemukan Abah tak bernyawa. Dalam rembang petang senja menjelang. Bunga Kamboja luruh diatas gundukan tanah merah. Basah oleh air mawar yang tertumpah.

***

“Melanjutkan kuliah dimana neng?” Ambu mendekat dengan kursi roda yang berkerit. Sejak dipasung oleh Abah dan Yanti juga dibiarkan tak makan berhari- hari. Kini kedua kakinya harus diamputasi.

Akang Badrudin dan Étéh Darliah yang memimpin semua proses pengobatan Ambu. Sepulang dari rumah sakit, mereka titipkan di rumah Yanti. Supaya setiap kenangan yang membayang perlahan, ada penawar pengalih perhatian untuk tidak meratap dan lupa bersyukur.

Yanti tersenyum. Ibu dan Ayah yang baru pulang dari pengajian bakda Isya pun menanti jawaban.

“Yanti mau mondok saja Ambu, Ibu, Ayah. Menyusul Bang Ahmad ke Pesantren Sindangsari. Insyaallah,” ada secercah harapan menghiasi wajah Yanti.

Jika kampung ini tak tersentuh modernisasi teknologi. Biarlah ilmu agama yang akan menjadi pengarah. Walau sejatinya kedua hal tersebut haruslah sejalan beriringan.

Yanti menatap satu persatu ketiga orang tua di hadapannya. Kemudian maju dan menggapai ketiganya. Menarik dalam pelukan hangat. Pemberi semangat.

“Ingatkan selalu Yanti, Ibu, Ayah, Ambu. Jika Yanti lupa akan tujuan hidup manusia di bumi ini. Insyaallah doa-doa yang kita panjatkan untuk Sri cepat atau lambat Allah akan kabulkan,”

Di luar sana cahaya rembulan menyepuh dedaunan. Penghujan datang. Katak berdendang. Kelelawar terbang. Angin bertiup lembut.  Membawa sekeping hati yang suci melintas batas negeri-negeri, menuju taman impian para pahlawan. Pahlawan devisa di Victoria Park, Causeway Bay Hongkong.

Bergandengan tangan mesra. Bertindak bagai suami istri. Padahal sama-sama wanita. Dengan rahim kehidupan yang kini meronta. Sri jalan gelap hidupmu kini.

Dalam apartemen mewah di sudut lain Victoria Park seorang perempuan  menelepon sambil tertawa  lebar, “hahaha… ada lagi yang mau berangkat? You serius kan? Siap-siap… Apa? Kebun singkong? You jual  sajalah hasilnya. I tak butuh. Ya… I hanya butuh daun muda, bukan daun singkong lho, hahaha. Minimal ada sepuluh daun muda, I jemput seperti biasa. Oke!”

Jaring-jaring kematian telah dibentang. Menanti mangsa yang remuk redam. Menatap gemerlap dentang kehidupan. Walau semu asalkan bahagia. Sementara. Tertawa dalam tangisan.

 

Kiki Masduki

Panjalu Ciamis, Kamis, 19 Agustus 2021

TKW di Hongkong itu unik. Selain pengajian yang tumbuh subur. Para lesbian pun bermunculan bak cendawan di musim hujan.

*) Judul dan petikan syair diambil dari  lagu/nasyid Suci Sekeping Hati grup Saujana, Malaysia.

Kiki Masduki

Kiki Masduki

Pengurus FLP Cabang Ciamis, pegiat literasi dan pengelola TBM Semesta Hikmah Panjalu